Jumat, 20 Mei 2011

All About Patchouli


A.    Tanaman Nilam

Tanaman nilam merupakan salah satu tanaman atsiri yang perkembangannya cukup pesat di Indonesia. Secara botani, Tanaman nilam masuk ke dalam famili Labiate, ordo Lamialles, kelas Angiospermae dan divisi Spermatophyta yaitu tanaman yang perdu atau semak dengan tinggi 0,3–1,3 meter yang memiliki aroma khas (Ketaren, 1986). Menurut Mangun (2005), Tanaman nilam merupakan tanaman perdu wangi yang berakar serabut, daunnya halus seperti beludru apabila diraba dengan tangan, dan bentuk daun agak bulat lonjong, serta warnanya hijau pucat. Bagian bawah daun beranting halus, batangnya berkayu dengan diameter 10–20 mm, serta sebagian besar daun yang tumbuh pada ranting hampir selalu berpasangan satu sama lain. Jumlah cabangnya banyak yang bertingkat mengelilingi batang sekitar 3-5 cabang pertingkat. Saat berumur lebih dari 6 bulan, ketinggian tanaman nilam dapat mencapai 2-3 kaki atau sekitar 60-90 cm dengan radius cabang sekitar 60 cm.
Penanaman nilam sebaiknya dilakukan didaerah yang memiliki kondisi ideal, yaitu berada pada suhu rata-rata antara 22-28ºC dan tingkat kelembaban udara rata-rata diatas 75%. Tanaman nilam membutuhkan tingkat penyinaran yang cukup, terlebih saat tanaman mendekati masa panen (Mangun, 2005). Ketaren (1986) menyatakan bahwa tanaman nilam dapat tumbuh subur didaerah tropis dengan tanah subur yang curah hujan merata yaitu sebanyak 2300-3000 milimeter setiap tahun. Menurut Imran (1994), tanaman nilam membutuhkan kondisi lahan terbuka (open space). Tanaman nilam apabila diberi pelindung (berupa tanaman atau lainnya) akan berdau lebar, tipis serta hijau tetapi kandungan minyak atsirinya rendah. Sebaliknya apabila tidak diberi tanaman pelindung pertumbuhan tanaman nilam menjadi agak kerdil, daunnya kecil tebal, berwarna merah kekuning-kuningan, namun memiliki kandungan atsiri yang tinggi. Kesesuaian tanah dan iklim bagi tanaman nilam dapat dilihat pada lampiran.
Variasi tanaman nilam disebabkan perbedaan tanah, iklim, dan penanamannya (Ketaren, 1986). Menurut Mangun (2005), pada dasarnya terdapat beberapa jenis tanaman nilam yang telah tumbuh dan berkembang di Indonesia. Namun nilam aceh lebih dikenal dan ditanam secara meluas. Selain itu, dikenal pula nilam jawa dan nilam sabun. Secara garis besar, jenis-jenis tanaman nilam yang terdapat di Indonesia adalah :
1.      Nilam Aceh (Pogostemon cablin Benth)
      Nilam Aceh merupakan tanaman standar ekspor yang direkomendasikan karena memiliki aroma khas yang menyegarkan dan rendemen minyak yang tinggi, yaitu 2,5%-5%. Menurut Guenther (1984), bagian tepi daun nilam jenis ini bergerigi, membulat seperti jantung dan pada permukaan bagian bawah daun berbulu sehingga daun tampak pucat. Jenis tanaman ini berasal dari Filiphina, yang kemudian ditanam dan dikembangkan ke wilayah Malaysia, Madagaskar, Brazil, dan Indonesia.
2.      Nilam Jawa (Pogostemon heyneatus Benth)
      Nilam jawa dikenal juga dengan nama nilam hutan. Nilam ini berasal dari India dan tumbuh liar di beberapa hutan di wilayah pulau Jawa. Jenis tanaman nilam ini memiliki kandungan minyak sekitar 0,5%-1,5%. Jenis daun dan rantingnya tidak memiliki bulu-bulu halus seperti nilam aceh serta memiliki ujung daun yang meruncing.
3.      Nilam sabun (Pogostemon hortensis Backer)
Zaman dahulu, jenis nilam ini sering digunakan untuk mencuci pakaian, terutama kain jenis batik. Daun nilam sabun ini lebih tipis dari nilam aceh, tidak berbulu dan memiliki permukaan daun yang tampak mengkilap dan berwarna hijau. Jenis nilam ini hanya memiliki kandungan minyak sebesar 0,5%-1,5%. Selain itu, komposisi kandungan minyak yang dihasilkan tidak baik, sehingga minyak dari jenis nilam ini ataupun nilam jawa tidak memperoleh pasaran dalam bisnis minyak nilam.
Nilam dapat dipanen setelah tanaman berumur 5-7 bulan dan panen selanjutnya dilakukan setiap 2-3 bulan sekali, tergantung dari jadwal dan program penanaman yang dilakukan (Mangun, 2005). Menurut Ketaren (1986) pemanenan nilam dilakukan dengan cara memotong bagian dahan atau tangkainya sepanjang 3-5 ruas dari pucuk atu disisakan sekitar 20 cm dari permukaan tanah. Panen dilakukan sebelum daun berwarna coklat dan dipetik saat pagi hari atau menjelang malam untuk mendapatkan daun dengan kadar minyak yang tinggi. Apabila panen dilakukan siang hari, maka sel-sel daun akan melakukan proses metabolisme yang akan mengurangi laju pembentukan minyak, daun yang kurang elastis dan mudah sobek sehingga kehilangan minyak akan lebih besar, disamping transpirasi daun lebih cepat sehingga jumlah minyak yang dihasilkan akan berkurang.
Pada tanaman nilam, minyak atsiri terkandung oleh semua bagian tanamannya baik itu daun, batang maupun akar. Dari semua bagian tersebut rendemen minyak dari akar dan batang nilam umumnya lebih rendah bila dibandingkan dengan yang berasal dari daun (Sundaryani dan Sugiharti, 1998).

B.      Minyak Nilam dan Komposisinya
Minyak nilam diperoleh dari campuran daun, batang, dan cabang nilam dengan cara penyulingan. Minyak yang dihasilkan terdiri dari komponen bertitik didih tinggi seperti patchouli alkohol, patchoulen, kariofilen dan norpatchounelol yang berfungsi sebagai zat pengikat (fiksatif) (Ketaren, 1985).
Menurut Imran (1994), minyak nilam dan komponen kimianya merupakan hasil dari metabolit sekunder yang disimpan didalam vakuola daun. Komponen kimia yang menyusun minyak nilam terbagi dalam dua golongan, yaitu golongan terpen dan golongan terpen-O. Golongan terpen-O merupakan golongan hidrokarbon yang memiliki ikatan dengan oksigen. Persenyawaan ini merupakan senyawa terpenting dalam kelompok minyak atsiri (termasuk nilam) karena memiliki aroma yang lebih baik dibandingkan senyawa terpen (Ketaren, 1986).
Komponen utama minyak nilam adalah patchouli alkohol (pathoulol), yang merupakan senyawa yang menentukan bau minyak nilam dan merupakan komponen terbesar penyusun minyak nilam. Komponen yang memberikan wangi khas pada minyak nilam adalah norpathchoulenol yang terdapat dalam jumlah kecil. Komponen lainnya yang merupakan komponen minor diantaranya adalah patchoulene, azulene, eugenol, cinnamaldehide, keton, dan senyawa seskuiterpen lainnya (Anonimous, 1980).
Selama ini petani nilam di pulau Jawa hanya mampu menghasilkan minyak nilam dengan kandungan patchouli alkohol 26%-28%, sedangkan pabrik penyulingan dengan peralatan suling baja antikarat (stainless steel) mampu menghasilkan minyak  nilam dengan kandungan patchouli alkohol 31%-35% (Sarwono,1998). Patchouli alkohol merupakan komponen penyusun utama yang menentukan mutu minyak nilam dengan kadar tidak boleh kurang dari 30%. Dalam perdagangan minyak nilam dunia patchouli alkohol merupakan syarat mutu yang sangat mempengaruhi harga minyak nilam. Ditinjau berdasarkan titik didihnya beberapa komponen minyak nilam mempunyai titik didih sebagai berikut:
Tabel 1. Titik Didih Komponen Minyak Nilam
Komponen Minyak Nilam
Titik Didih
Patchouli Alcohol
140ºC pada 8 mmHg
Eugenol
252,66ºC pada 760 mmHg
Benzaldehyde
178,07ºC pada 760 mmHg
Cinnamic aldehyde
251,00ºC pada 760 mmHg
Caniden
274ºC pada 760 mmHg
Sumber : Guenther (1949;1987)
            Beberapa senyawa penyusun minyak nilam antara lain :
a.      Patchouli Alkohol
Patchouli alkohol adalah komponen utama minyak nilam (sekitar 40%) yang menentukan parameter mutu minyak nilam terutama dari karakteristik bau yang dihasilkannya. Menurut Ketaren (1986), Patchouli alkohol tergolong dalam golongan terpen-O (oxygenated terpen). Persenyawaan ini mempunyai nilai kelarutan yang tinggi dalam alkohol encer (kecuali beberapa persenyawaan aldehida), serta lebih stabil terhadap oksidasi maupun resinifikasi.
Patchouli alkohol merupakan seskuiterpen alkohol yang dapat diisolasi dari minyak nilam dan mempunyai sifat tidak larut dalam air, larut dalam alkohol, eter atau pelarut organik lainnya, memiliki titik didih 140ºC/8 mmHg, dalam bentuk kristal berwarna putih dengan titik leleh 56ºC (Sastrohamidjojo, 2002). Karakteristik patchouli alkohol dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Sifat Fisik Patchouli Alkohol
Sifat
Nilai
Bobot Jenis (20/4ºC)
1.0284
Putaran Optik (pada khloroform)
(-) 97º 42'
Indeks bias (20ºC) dan (25ºC)
1.5245 dan 1.52029
Titik didih (8 mmHg)
140ºC
Sumber : Sastromidjojo (2002)

b.      Eugenol
Eugenol merupakan senyawa golongan hidrokarbon O dengan rumus molekul C10H12O2, mempunyai bobot molekul 164.2, berupa cairan berbentuk minyak, tidak berwarna, atau sedikit kekuningan dan akan menjadi coklat jika kontak dengan udara (Arthur, 1956). Kekentalan dan warna eugenol akan meningkat apabila selama penyimpanan kontak dengan udara dan sinar. Dari rumus bangunnya eugenol adalah suatu alkohol siklis monohidrat (alkohol tersier) atau suatu fenol, sehingga dapat bereaksi dengan basa kuat.
Eugenol sulit larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organik (Furia dan Bellaca, 1975). Guenther (1987) menyatakan bahwa eugenol larut dalam 5:6 dengan alkohol 50%, 2:3 dengan alkohol 60% dan 1:2 dengan alkohol 70%.
c.       Patchoulene
Pathcoulene memiliki titik didih berkisar antara 255ºC -250ºC. Bobot jenisnya 0.9296, putaran optik (-) 38 dan indeks bias sekitar 1.4984.
d.      Benzaldehid
Benzaldehid adalah komponen minyak yang merupakan cairan tidak berwarna dan memiliki bau almond dengan rumus molekul C7H6O6 dan bobot molekul sebesar 106.12. Benzaldehid memiliki bobot jenis 1.0484, indeks bias 1.5456, dan titik didih 178ºC. Zat ini memiliki kemampuan untuk mengkondensasi dengan beberapa macam aldehide untuk membentuk nilai tinggi pada parfum.
e.       Sinnamaldehid
Sinnamaldehid dikenali pula dengan sebutan ß-fenilakrolein dan merupakan senyawa aldehid aromatik dengan titik didih 68ºC pada bentuk cis dan 80ºC pada bentuk trans. Sinnamaldehid dapat teroksidasi pada gugus aldehidnya sehingga pada ikatan rangkap akan terbentuk asam sinamat, yang pada akhirnya akan membentuk asam benzoate serta benzaldehid.
f.       Alpha-pinen
Senyawa alpha-pinen memiliki berat molekul 136.24 dan rumus molekul C10H16. Senyawa ini bersifat larut dalam alkohol pekat dan tidak larut dalam air. Senyawa alpha-pinen ini telah dijual bebas bersama senyawa beta-pinen.
g.      Beta-pinen
Beta-pinen memiliki titik didih 166ºC dengan bobot jenis 0.87. Senyawa ini larut dalam alkohol pekat dan sukar larut dalamalkohol encer. Berikut ini adalah rumus bangun dari senyawa beta-pinen.



C.    Sifat Fisiko Kimia Minyak Nilam
a.      Sifat Fisik
Menurut Guenther (1948), masing-masing sifat fisik dan sifat kimia pada minyak atsiri sering memiliki korelasi satu sama lain. Sifat fisik minyak atsiri merupakan suatu tetapan konstan pada kondisi yang tetap. Uji sifat fisik dilakukan sebagai sarana untuk mengetahui kemurnian minyak. Sedangkan analisa sifat kimia bertujuan untuk menentukan mutu dan presentase jumlah senyawa kimia yang terdapat dalam minyak atsiri tersebut (Ketaren, 1986). Sifat fisik minyak nilam meliputi indeks bias, bobot jenis, dan putaran optik.
Menurut Forma (1979), indeks bias dipengaruhi oleh panjang rantai karbon dan jumlah ikatan rangkap. Semakin panjang rantai karbon dan semakin banyak jumlah ikatan rangkap maka indeks bias semakin tinggi. Lama pengeringan dan proporsi batang yang lebih banyak pada penyulingan akan menghasilkan minyak dengan indeks bias yang tinggi. Pada minyak nilam, komponen beratnya merupakan senyawa yang bertitik didih tinggi dan merupakan molekul berantai panjang.
Menurut Rusli et al (1979), indeks bias minyak atsiri semakin tinggi dengan semakin lamanya waktu penyulingan. Hal ini disebabkan banyak minyak yang tersuling mengandung seskuiterpen yang merupakan senyawa molekul siklis berantai panjang dan berikatan rangkap.
Indeks bias suatu minyak atsiri juga dipengaruhi oleh kondisi dari proses penyulingan minyak. Besarnya api saat penyulingan akan mengakibatkan fraksi berat dalam minyak akan tersuling dalam jumlah lebih banyak serta makin banyak pula jumlah ikatan tidak jenuhnya. Semakin besar nilai indeks bias minyak nilam, maka semakin baik mutunya (Rusli dan Hasanah, 1976).
Komponen berat dalam minyak nilam merupakan senyawa yang bertitik didih tinggi dan merupakan molekul yang berantai panjang. Hal inilah yang menyebabkan nilai indeks bias minyak nilam semakin besar. Nilai indeks bias berhubungan dengan struktur dan komposisi senyawa organik di dalam suatu bahan (Formo et al, 1978).
Minyak atsiri memiliki kemampuan untuk melakukan perputaran pada bidang polarisasi cahaya baik itu kearah kanan (dextro rotary) maupun ke arah kiri (levo rotary) dengan tanda masing-masing adalah positif (+) dan negatif (-). Putaran optik sangat dipengaruhi oleh perbandingan banyaknya daun dan batang yang tersuling. Hal ini disebabkan karena pada bagian batang lebih banyak mengandung atom karbon simetris yang memutar bidang polarisasi cahaya ke arah kiri.
Sifat optik suatu minyak atsiri ditentukan dengan polarimeter dan nilainya ditentukan dengan derajat rotasi. Derajat rotasi dan arahnya penting untuk menentukan nilai derajat kemurnian. Derajat optik sangat dipengaruhi oleh perbandingan banyaknya daun dan batang. Hal ini disebabkan karena pada bagian batang lebih banyak terdapat komponen yang mengandung atom karbon simetris yang memutar bidang polarisasi sebelah kiri. Kecenderungan minyak nilam memutar ke sebelah kiri disebabkan oleh adanya patchouli alkohol yang memiliki daya optik aktif ke kiri (-) yang cukup besar (Pomeranz dan Meloan, 1977).
b.      Sifat Kimia
Menurut Ketaren (1986), sifat kimia minyak atsiri ditentukan oleh persenyawaan kimia yang terdapat di dalamnya, terutama persenyawaan tidak jenuh (terpen), ester, asam, aldehida, dan beberapa jenis persenyawaan lainnya yang termasuk golongan oxygenated hydrocarbon, misalnya alkohol, eter, dan keton. Perubahan sifat kimia minyak atsiri merupakan ciri dari kerusakan minyak yang menyebabkan penurunan mutu. Beberapa proses yang dapat menyebabkan sifat fisika kimia minyak atsiri adalah proses oksidasi, hidrolisis, polimerisasi (resinifikasi), dan penyabunan (Ketaren,1986).
Sifat kimia minyak nilam meliputi bilangan asam, bilangan ester serta kelarutan dalam alkohol 90%. Bilangan ester penting peranannya dalam menentukan mutu minyak atsiri, terutama dalam masalah aroma. Menurut Ketaren (1986), beberapa minyak atsiri mengandung ester yang umumnya berbasa satu (RCOOR’) dengan R dapat berupa radikal alifatis (alkil), aromatik (aril) atau alisiklis. Semakin lama penyulingan dilakukan maka akan semakin besar bilangan ester yang dihasilkan (Anonimous, 1980).
Menurut Guenther (1948), sebagian minyak atsiri mengandung sejumlah asam organik bebas yang terbentuk secara alamiah atau yang dihasilkan dari proses oksidasi dan hidrolisa ester. Bilangan asam dari suatu minyak didefinisikan sebagai jumlah miligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam bebas dalam 1 gram minyak. Dalam penentuan bilangan asam, biasanya digunakan larutan alkali lemah untuk menghindari penyabunan persenyawaan ester yang terdapat dalam minyak atsiri.
Bilangan asam dari suatu minyak atsiri akan bertambah bila umur simpan minyak juga bertambah, terutama apabila perlakuan penyimpanan yang kurang baik sehingga akan mengakibatkan terjadinya oksidasi dan hidrolisa ester yang akan menambah jumlah bilangan asam. Minyak yang telah dikeringkan dan dilindungi dari udara dan sinar memiliki jumlah asam bebas yang relatif kecil (Ketaren, 1986).
Menurut Guenther (1948), komponen minyak sangat menentukan kelarutan minyak dalam alkohol. Minyak yang mengandung terpen-O (oxygenated terpene) lebih mudah larut dibandingkan minyak yang mengandung terpen. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kelarutan minyak nilam antara lain adulteration (pencampuran) dengan bahan lain. Tingkat kelarutan minyak dalam alkohol dipengaruhi jenis dan konsentrasi senyawa-senyawa yang dikandung minyak tersebut.

D.     Kegunaan Minyak Nilam
Minyak nilam merupakan salah satu jenis minyak atsiri yang dikenal sebagai fixative aging (zat pengikat) karena memiliki komponen-komponen yang bertitik didih tinggi yaitu zat yang mampu mengikat bau wangi sekaligus dapat membentuk bau yang harmonis dalam suatu senyawa parfum, seperti yang dinyatakan oleh Ketaren (1986). Zat pengikat adalah suatu senyawa yang mempunyai daya menguap lebih rendah atau titik uapnya lebih tinggi dari zat pewangi, sehingga kecepatan penguapan zat pewangi dapat dikurangi atau dihambat. Penambahan zat pengikat ini dalam parfum bertujuan untuk mengikat bau wangi dengan mencegah laju penguapan zat pewangi yang terlalu cepat, sehingga bau wangi tidak cepat hilang. Komposisi minyak nilam yang digunakan dalam suatu parfum dapat mencapai 50%.
Selain itu, karena wanginya yang khas maka minyak nilam sering digunakan langsung sebagai parfum selendang, pakaian, industri sabun, kosmetik, dupa, parfum, karpet, dan barang-barang tenunan. Menurut Guenther (1948) minyak nilam memiliki sifat-sifat antara lain adalah sulit tercuci, sukar menguap dibandingkan minyak atsiri lainnya, dapat larut dengan baik dalam alkohol dan mudah dicampurkan dengan minyak atsiri lainnya. Sifat-sifat ini yang menyebabkan minyak nilam digunakan sebagai fiksatif dalam berbagai industri wewangian, kosmetik, sabun, dan farmasi. Peranan minyak nilam sebagai fiksatif belum dapat digantikan oleh minyak manapun sehingga sangat penting dalam dunia parfumery (Lutony et al, 1994).
Fungsi minyak nilam antara lain sebagai obat luka, obat sakit gigi dan gatal-gatal (Anonimous, 1980). Selain itu, minyak nilam juga dapat digunakan sebagai bahan baku insektisida nabati (Nurdjanah et al,1998). Menurut Dummond (1960) nilam dapat digunakan sebagai insektisida terutama untuk mengusir ngengat kain (Thysanura) karena didalamnya mengandung zat yang tidak disukai oleh serangga tersebut, karena terdapat dalam komponen minyak nilam seperti alpha-pinen dan beta-pinen. Dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukan bahwa minyak nilam dapat digunakan sebagai pengendali populasi serangga karena sifatnya sebagai bahan penolak dan penghambat pertumbuhan serangga. Sebagai pengendali hama, minyak nilam mempunyai prospek yang cukup baik untuk dikembangkan sebagai salah satu bahan baku insektisida nabati.
Mardiningsih, dkk (1998) melaporkan bahwa minyak nilam dapat digunakan untuk mengendalikan hama, baik hama gudang maupun hama tanaman. Minyak  nilam mampu mematikan populasi Stegobium paniceum, yang merupakan hama bagi ketumbar selama penyimpanan. Dengan mengoleskan sedikit minyak nilam disekitar dinding tempat penyimpanan, populasi Stegobium paniceum dapat berkurang sebesar 25-42% setelah penyimpanan 9 hari. Selain itu dari hasil penelitian Mardiningsih, dkk (1994) minyak nilam bersifat menolak beberapa jenis serangga seperti ngengat kain (Thysanura lepimatidae), Sitophilus zeamais (kumbang jagung), dan Carpophilus sp. (kumbang buah kering). Menurut Grainge dan Ahmed (1987) minyak nilam juga bersifat menolak Aphid (kutu daun), nyamuk, dan Pseudaletia unipuncta.
Selain sebagai pengikat wangi pada parfum, kosmetika, dan sabun serta sebagai pestisida ternyata minyak  nilam berkhasiat sebagai antibiotik dan antiradang karena dapat menghambat pertumbuhan jamur dan mikroba. Dapat digunakan untuk deodoran, obat batuk, asma, sakit kepala, sakit perut, bisul, dan herpes. Minyak nilam merupakan minyak eksotik yang dapat meningkatkan gairah dan semangat serta mempunyai sifat meningkatkan libido. Biasanya digunakan untuk mengharumkan kamar tidur untuk memberi efek menenangkan dan membuat tidur lebih nyenyak (anti insomnia). Dalam hal psikoemosional, minyak nilam termasuk dalam aroma terapi yang belakangan ini semakin populer sebagai salah satu aspek pengobatan alternatif, karena minyak nilam mempunyai efek sedatif (menenangkan), sehingga digunakan untuk menanggulangi gangguan depresi, gelisah, tegang karena kelelahan, stres, kebingungan, lesu, dan tidak bergairah serta dapat meredakan kemarahan (Mardiningsih, dkk. 1998).
Sisa dari hasil penyulingan minyak nilam masih dapat dimanfaatkan untuk bahan pembuat dupa, karena mempunyai aroma yang khas/harum. Ampas tersebut dijemur kemudian digiling dan siap digunakan sebagai bahan baku pembuat dupa berbentuk lidi (joss stick). Bubuk halus dari ampas dicampur dengan bahan perekat (gum Arabic dan dentrose), tepung onggok, tepung tempurung, pewarna, dan pewangi lainnya. Semua bahan tersebut dicampur dalam wujud adonan dan selanjutnya dicetak menjadi lidi.

E.   Kerusakan Minyak Nilam
Kerusakan minyak nilam diartikan sebagai perubahan dari sifat fisika-kimia minyak nilam yang pada umumnya berakibat pada penurunan nilai mutu. Kerusakan yang sering terjadi pada minyak nilam adalah kerusakam pada komponen kimianya. Kerusakan jenis ini disebabkan oleh terjadinya proses hidrolisa, oksidasi, resinifikasi, tercampurnya dengan bahan lain serta pencemaran oleh wadah kemasan (Ketaren, 1985). Kerusakan minyak nilam yang mudah teridentifikasi adalah warnanya yang menjadi gelap, keruh, dan timbulnya bau yang tidak dikehendaki. Hal ini disebabkan telah terjadinya proses kimia pada minyak nilam. Kerusakan minyak atsiri disebabkan oleh beberapa hal, misalnya karena panas, oksigen bebas, air, cahaya, dan katalisator.
Menurut Swern (1979), minyak atsiri yang masih mengandung air akan mengalami kerusakan akibat terjadinya proses hidrolisa. Air tersebut akan bereaksi dengan senyawa ester dalam minyak membentuk asam organik, reaksi ini akan dipercepat dengan peningkatan suhu. Asam organik hasil proses hidrolisa dan asam organik yang ada di dalam minyak nilam secara alamiah kemudian akan mengikat ion logam, garam logam ini yang kemudian akan mempengaruhi warna dari minyak nilam menjadi lebih gelap.
Menurut Ketaren (1986), proses oksidasi merupakan penyebab kerusakan pada minyak akibat adanya aksi oksigen. Oksidasi oleh oksigen akan terjadi secara spontan jika bahan dibiarkan kontak dengan udara dalam kondisi suhu yang tinggi. Kecepatan oksidasi tergantung kondisi pada saat penyimpanan. Faktor yang mempengaruhi kecepatan dari proses oksidasi dapat dibagi menjadi empat kelas, yaitu : radiasi, bahan pengoksidasi, katalis metal, dan sistem oksidasi. Senyawa aldehid pada minyak nilam akan berubah menjadi asam organik bila terjadi proses oksidasi, senyawa seperti benzaldehid dan sinamaldehid bila teroksidasi akan berubah menjadi asam benzoat dan asam sinamat.

F.  Penyulingan Minyak Nilam
Stephen di dalam Guenther (1948) menyatakan bahwa penyulingan merupakan kegiatan pemisahan komponen suatu campuran dari dua jenis cairan atau lebih berdasarkan perbedaan tekanan uap dari masing-masing zat tersebut. Proses ini dilakukan terhadap minyak atsiri yang tidak larut dalam air (Ketaren, 1985).
Menurut Guenther (1949), penyulingan daun nilam sebaiknya dilakukan sesuai dengan keadaan bahan. Kumpulan daun yang mengandung banyak tangkai memerlukan perlakuan yang berbeda dengan bahan yang hanya terdiri dari daun saja. Penambahan ranting disini bertujuan untuk mencegah terjadinya jalur uap yang dapat menurunkan rendemen minyak. Perbandingan antara ranting dan daun yang tidak sesuai menyebabkan penurunan rendemen dan mutu minyak. Semakin banyak proporsi tangkai dalam campuran akan mengakibatkan rendemen semakin rendah sedangkan bobot jenis, indeks bias, putaran optik (ke arah levo) dan komponen berat yang polar dalam minyak meningkat.
Sudaryani dan Sugiharti (2002) menyatakan bahwa ada dua cara penyulingan yang dapat digunakan untuk memperoleh minyak nilam, yaitu penyulingan dengan air dan uap serta penyulingan dengan uap. Pada sistem penyulingan air dan uap (kukus), air diletakan tepat di bawah bahan yang diberi alat pemisah berupa logam berlobang. Keadaan uap yang selalu basah dan bahan yang berhubungan langsung dengan uap adalah ciri khas dari metode ini. Pada metode penyulingan yang kedua, yaitu penyulingan dengan uap, air sebagai sumber uap panas ditampung dalam sebuah ketel yang letaknya sudah terpisah dari ketel suling. Uap yang digunakan adalah uap jenuh atau uap kelewat panas pada tekanan lebih dari satu atmosfer (Guenther, 1948).
Menurut Rusli (1991) cara penyulingan sebaiknya menggunakan cara kukus dengan lama penyulingan 5-6 jam, kepadatan bahan dalam ketel 90-130 g/l pada ketel 600 l, kecepatan penyulingan 32-36 l/jam. Sukirman dan Aiman (1979) menyatakan bahwa jenis logam yang paling baik digunakan untuk ketel suling adalah besi yang tahan karat karena bahan ini mampu menyuling bahan baku yang bersifat asam tanpa mampu mengakibatkan korosi. Alat penyulingan yang terbuat dari logam (Fe dan Al) dapat mengakibatkan minyak yang dihasilkan berwarna gelap dan mempunyai bilangan asam yang tinggi (Rusli dan Hasanah, 1977).
Rusli (1991) menyatakan bahwa minyak nilam yang dihasilkan oleh petani pengrajin bermutu rendah, hal ini disebabkan karena cara penyulingan yang dilakukan masih kurang memenuhi syarat, selain itu ketel yang digunakan untuk menyuling tanaman nilam berupa drum bekas yang sudah berkarat sehingga terjadi pengotoran oleh karat tersebut akibatnya minyak yang dihasilkan berwarna kehitaman.

G.  Pemucatan Minyak Nilam
Menurut Guenther (1987), pemucatan merupakan suatu proses yang bertujuan untuk memisahkan zat warna yang tidak dikehendaki yang berada dalam minyak. Berdasarkan sifatnya pengerjaan proses ini dibedakan menjadi dua cara, yaitu fisika dan kimia (Kirk dan Othmer, 1985). Secara fisika pemucatan minyak nilam dapat dilakukan dengan metode penyulingan hampa udara terfraksi, penyulingan ulang, dan adsorpsi (Guenther, 1948) sedangkan pemucatan secara kimia meliputi flokulasi (Ketaren, 1985).
Ketaren (1986) mengatakan bahwa pemucatan dapat dilakukan dengan menggunakan sejumlah kecil adsorben seperti lempung aktif dan arang aktif. Selain itu dapat juga menggunakan bahan pembentuk kompleks. Proses pemucatan minyak nilam umumnya menggunakan tiga jenis bahan pemucat, yaitu bentonit, asam sitrat, dan arang aktif.
Menurut Kirk dan Othmer (1965), senyawa pembentuk kompleks merupakan sejenis molekul organik dan anorganik (ligan) yang menyebabkan sebuah ion logam memiliki lebih dari satu posisi, misalnya melalui dua atau lebih grup elektron donor dalam ligan. Pembentukan senyawa kompleks dapat terjadi jika ada reaksi antara ion logam yang dinamakan ion inti dengan komponen-komponen lain yang disebut ion negatif atau molekul yang disebut ligan. Dalam pembentukan senyawa kompleks ligan akan mengikat ion logam melalui ikatan koordinat kovalen, dimana yang bertindak sebagai donor elektron disini adalah ligan. Senyawa kompleks yang terbentuk bisa bermuatan negatif, positif, atau nol (Winarno, 1985).
Senyawa pembentuk kompleks dibedakan menjadi dua golongan, yaitu berdasarkan jumlah grup koordinasi yang dihasilkan dan jumlah cincin pengikat yang dapat terbentuk dengan ion logam. Senyawa ini berfungsi untuk mengurangi aktivitas ion-ion logam didalam produk, menghilangkan ion-ion logam yang membentuk endapan yang tidak diinginkan dan mengurangi sifat racun dari ion logam beracun. Bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai pembentuk kompleks adalah asam sitrat, asam oksalat, asam tartarat, asam glukonat, asam etilen diamin tetra asetat (EDTA), asam nitrotriasetat (NTA), polifosfat, poliamin, dan asam isoaskorbat (Kirk dan Othmer, 1965).
Asam sitrat atau β-3-hidroksi trikarbosiklis, 2-hidroksi-1,2,3-propana trikarbosiklis, mempunyai rumus kimia C6H8O7. Sifat dari asam sitrat adalah agen pengkelat (chelating agent) dimana senyawa ini dapat mengikat logam-logam divalen atau lebih, seperti Mn, Mg dan Fe yang sangat diperlukan sebagai katalisator dalam reaksi oksidasi sehingga reaksi ini dapat dihambat dengan penambahan asam sitrat (Winarno dan Laksmi, 1974).
Menurut Winarno dan Laksmi (1974), asam sitrat berfungsi sebagai agen pengkelat dimana senyawa ini memiliki kemampuan untuk mengikat logam-logam divalen seperti Mn, Mg, dan Fe. Asam sitrat merupakan larutan asam yang paling populer digunakan untuk tujuan ini karena selain dapat mengikat ion logam juga dapat membersihkan oksigen bebas, dan memecah sabun pada minyak (Petterson, 1992) di dalam (Ragina F. S., 2002). Rumus bangun dari asam sitrat dapat dilihat pada gambar  8.
Adanya ion logam Fe2+ dalam minyak nilam akan bereaksi dengan asam organik membentuk senyawa organologam. Senyawa organologam ini dapat dipisahkan dari minyak dengan penambahan asam sitrat . jika suatu partikel padat telah terpisah secara sempurna dan bereaksi secara elektrolik, maka partikel-partikel tersebut akan saling tolak menolak dan tetap terpisah. Jika senyawa dengan muatan yang berbeda seperti flokulan ditambahkan ke dalam campuran tersebut, maka partikel-partikel yang telah terpisah akan membentuk, maka partikel-partikel yang telah terpisah akan membentuk kumpulan yang lebih besar dan lebih cepat mengendap (Treybal, 1968). 
Menurut Petterson (1992) di dalam (Ragina F. S., 2002), penambahan asam sitrat sebesar 0.05% b/b terhadap bobot minyak dalam bentuk larutan 50% dalam air sesaat sebelum penambahan adsorban akan sangat nyata meningkatkan aktivitas penyerapan logam oleh adsorban tersebut. Bahkan penggunaan asam sitrat  dengan jumlah seperlima dari konsentrasi di atas aktivitas penyerapan cukup efektif. Pada metode ini logam yang telah terkompleks bersama asam sitrat menjadi lebih efektif diadsorpsi oleh adsorban.
Hasil penelitian Purnawati menunjukan kadar logam Fe, Mg, dan Cu pada minyak nilam berturut-turut adalah 509.2 ppm, 369.5 ppm, dan 1.8 ppm. Metode pemucatan kimia menggunakan campuran 1% asam sitrat dan 1% asam tartarat berhasil menurunkan kadar Fe dan Mg menjadi 50.26 ppm dan 2.09 ppm, sedangkan kadar Cu pada minyak nilam hasil pengkelatan diperoleh 0 ppm.
Berdasarkan pada penelitian sebelumnya asam sitrat terbukti sebagai senyawa pengkelat paling efisien untuk logam Fe (Abrahamson et al.,1994; Ekholm et al., 2003); Mg (Demir et al.,2003; Ekholm et al., 2003); Zn dan Mn  (Ekholm et al., 2003); dan Pb (Chen et al., 2003). Hasil penelitian Marwati (2005) menyatakan bahwa asam sitrat terbukti sebagai senyawa pengkelat yang lebih efektif daripada asam tartarat. Kemudian Marwati (2005) melanjutkan bahwa kadar asam dalam asam sitrat lebih tinggi daripada asam tartarat, sehingga berdasarkan perhitungan stokiometri akan mengikat logam lebih banyak. Selain itu, asam sitrat memiliki tiga gugus karboksilat dimana jumlah ini lebih tinggi daripada asam tartarat.

6 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. materinya bagus tap sayang daftar pustakanya tdk dicantumkan padahal sy butuh bangat daftar pustakanya untuk menyusun proposal penelitian

    BalasHapus
  3. Kurang dapusnya kak... Bagus buat referensi nih

    BalasHapus